Sebuah Curahan Hati TKI Syiria

NU Bogor - Sebuah cerita pendek

Panas hati membakar cuaca di siang hari ini. Aku tidak tahan dengan emosi yang aku miliki saat ini. Aku mencoba tenang, namun hatiku gundah dan marah. "Mak, aku menyesal" gumam hatiku yang paling dalam. Sudah hampir lima tahun aku pergi tanpa izin kepada Emak. Aku tau bagaimana perasaannya melihat kelakuan anak perempuan pertamanya yang tidak rasional ini. Dahulu sebelum aku pergi, ada seorang kawan yang mengajakku untuk berjihad di bumi "Syahid" yakni syiria. Aku yang kala itu memang bercita-cita pergi ke luar negeri, ingin sekali untuk dapat terbang ke syiria. Akhirnya aku rela meninggalkan ke-dua adikku yang masih memakan bangku Sekolah Dasar di kala itu. Aku juga meninggalkan seorang perempuan mulia yang telah mengandungku selama sembilan bulan lebih, merawatku sejak aku bayi hingga aku dewasa seperti saat ini. Dialah "Emak", orang yang selalu menyayangi dan mencintai aku sejak aku kecil. Dia yang selalu bekerja keras menafkahi kehidupan bersama anak-anaknya hingga tumbuh dengan sempurna. Sepeninggal Ayah, Emak memang menjadi tulang punggung keluarga. Selain karena aku kala itu masih bersekolah, adik-adikku juga masih terlalu kecil. Sehingga Emak putuskan untuk mondar-mandir bekerja sebagai tukang soto.


Kini setelah aku berada jauh darinya, aku merasa sangat menyesal. Aku merasa bahwa aku adalah seorang perempuan paling bodoh se-dunia. Bagaimana tidak? dahulu ketika aku ditawari oleh seorang temanku pergi "berjihad" ke syiria, dia menawariku dengan berjuta janji-janji manis seperti pekerjaan tetap, gaji besar yang tetap, juga dengan iming-iming besar lainnya yang tentu menggugah diriku untuk ikut terbang ke sana. Ternyata disini aku hanya dibodohi. Aku diperjual belikan secara tidak manusiawi, menjadi budak sana-sini, pemuas hasrat kaum lelaki. Ah, sungguh bodoh sekali aku ini. Coba saja dahulu aku menolak ajakannya, di Indonesia pasti aku sudah bekerja dan mampu membahagiakan Emak dan kedua adikku. Ah, ibarat nasi sudah jadi bubur, seperti pepatah mengatakan "Pulang malu tak pulang rindu" begitulah suasana hatiku saat ini. Aku sangat ingin pulang, bertemu dengan Emak serta kedua adikku, aku rindu kepada mereka. Aku ingin pulang, kembali menghirup udara segar dengan masyarakat yang damai di Indonesia.

Mak, disini aku menyaksikan. Bagaimana martabat seorang wanita diperjual belikan dengan tidak manusiawi, anak-anak kecil dan berjuta rakyat terbunuh nyawanya karena bom, rudal, nuklir dan serangan berbahaya lainnya. Disinilah aku merasa bahwa aku adalah seorang wanita yang paling bodoh. Tuhan telah menganugerahkan kepadaku dengan menempatkan aku di Indonesia. Aku lahir dari kandungan Emak di Indonesia, negara Indonesiaku sangat ramah, tamah, aman, damai dan bersahaja. Namun, kenapa aku malah menghianatinya?. Aku pergi ke negara orang untuk bekerja, namun nyatanya aku malah menjadi budak kotor yang diperlakukan seperti halnya barang dagangan. Padahal, sewaktu aku masih kecil Emak selalu berkata kepadaku agar aku selalu bersyukur hidup di Indonesia. Selain karena ke indahan pesona alamnya, juga karena di Indonesia ini masyarakatnya damai dan saling perduli satu sama lain. Namun, ketika ada dan datangnya suatu kelompok berbasic "radikal" perlahan negeri itu berubah. Mulai memecah, terpecah dan dipecah. Ketentraman mulai terusik, politik mulai memanas, ekonomi surut, cek-cok antar perbedaan dimana-mana. Bahkan patung yang hanya sebagai hiasan jalan saja diperdebatkan secara serius. Namun, bagaimanapun aku tetap sangat merindukan kampung halaman tempat kelahiranku dari rahim Emak. Aku rindu bagaimanapun keadaannya disana. Ketika aku pulang kesana, pasti orang-orang memperlakukan diriku dengan perlakuan yang kasar dan berbeda. Sebab mereka tahu pekerjaanku di sini sebagai apa.


Aku tahu lima tahun ini Emak pasti sangat merindukanku. Aku juga sangat merindukannya. Mak aku menyesal, maafkan aku. Berjuta cara telah aku lakukan untuk dapat pulang dan bertemu dengan Emak. Namun itu semua nihil. Ah sungguh, aku adalah wanita paling bodoh di dunia ini. Bersyukurlah mereka yang masih bertahan hidup di Indonesia. Dengan segala kenyamanan, keamanan, kedamaiannya. Walaupun ada beberapa kerusuhan didalamnya. Tetaplah pertahankan Indonesia, jangan jadikan Indonesia seperti syiria, Marawi, Palestine dan lain sebagainya. Jadilah Indonesia yang damai. Aku tidak mau rakyat indonesia mengalami hal yang buruk seperti apa yang telah terjadi padaku hingga saat ini.

Semoga saja aku dapat kembali ke Indonesia. Semoga Indonesia memaafkan segala kebodohan diriku ini. "Mak, aku akan segera kembali menemuimu. Semoga disana kau sehat selalu. Semoga Tuhan selalu melindungi Emak dan kedua adik cantikku". Ah, namun sepertinya ini hal yang tida rasional. Seperti halnya nasi telah menjadi bubur. Mustahil aku bisa kembali di pelukannya. "Emak, aku menyesal mak. Disini aku menderita, aku rindu dengan Indonesia".
Pulang malu, tak pulang aku rindu Emakku. Begitulah sekiranya.

Hari semakin sore, namun renungan penyesalanku tak kunjung selesai. Berjuta perasaan menyesal menghantui diriku. "Sudahlah nad, aku tahu kau menyesal. Aku tahu bagaimana perasaanmu. Namun bagaimana lagi, kita sudah berkhianat kepada Indonesia. Kita berhak mendapatkan hukuman setimpal dengan ini. Nad, bersabarlah. Beristighfar dan berdoalah sepanjang waktu kepada Tuhanmu. Aku yakin dia akan memaafkan kesalahanmu. Allah lebih tahu bagaimana dan apa yang tengah dialamimu. Doakan pula Ibu, dan seluruh keluargamu disana. Semoga mereka selalu sehat dan berada pada lindungan-Nya" Nasehat seorang sahabatku yang selalu menenangkan hatiku. Tidak ada hal yang aku fikirkan disini kecuali hanya perasaan menyesal dan menyesal. Menyesal karena kebodohanku dan menyesal karena aku berkhianat kepada negeri tercintaku dan juga kepada Emak tercintaku.

Ku mohon, maafkan segala kebodohanku.


Vinanda Febriani

Borobudur, 09 Agustus 2017.
Hanya sebuah cerita fiktif

0 Komentar