Refleksi 72 Tahun Indonesia Merdeka ; Membangun Manusia yang adil dan beradab

NU Bogor -
Syahdan, situasi Indonesia saat ini masih mengalami persoalan mendasar, yakni merosotnya nilai-nilai kebangsaan, nasionalisme dan semangat kemajemukan sebagai bangsa yang majemuk multikultural. Yang paling memprihatinkan, diakui atau tak diakui, ternyata bangsa kita juga mengalami kemunduran moral, estetika, etika atau keadaban. Mengapa? masih saja ada upaya pengingkaran terhadap kemajemukan bangsa Indonesia yang setiap saat dapat saja muncul ke permukaan. Di saat yang bersamaan, sebagai sebuah bangsa yang ribuan tahun memiliki kearifan budaya yang Adi-Luhung, nyatanya kita malah mengalami kemunduruan yang luar biasa.
Apa buktinya? Kasus penganiayaan dan pembakaran seorang pria muda di salah satu daerah di Indonesia adalah salah satu buktinya. Bagaimana mungkin, sebagai sebuah bangsa besar yang tinggi peradabannya, etikanya, ilmu pengetahuannya, norma-normanya, toleransinya, budi pekertinya, tega melakukan hal biadab seperti itu?! Belum lagi masalah kebangsaan lainnya, seperti korupsi yang tak ada habisnya, kesenjangan sosial-ekonomi yang terus melebarkan jurang diantara kita, akhlak guru dan murid sekolah yang terus merosot, etika pemimpin masyarakat yang tak dapat digugu dan ditiru lagi, bahkan moral rakyatnya sendiri pun kian mengalami degradasi.
Walhasil, semua masalah kebangsaan kita kini pada akhirnya menjauhkan kita dari kata dan makna KEADILAN! inilah yang kerap memunculkan konflik bernuansa SARA di negeri ini baik secara vertikal maupun horizontal. Ini dapat kita rasakan dan lihat sendiri, tak perlu pembuktian lagi. Yang menjadi soal berikutnya adalah, apa dan bagaimana mewujudkan KEADILAN? Sedangkan makna KEADILAN begitu luas dan juga mungkin berbeda-beda menurut segi dan sudut pandang kita masing-masing.
Fenomena maraknya kembali tradisi kekerasan, radikalisme, intoleransi (dalam pelbagai bidang), bahkan vandalisme di tanah air beberapa waktu terakhir, merupakan anomali dari suatu bangsa yang begitu kaya serta amat luhur peradabannya seperti Indonesia. padahal, dunia luar mengenal kita sebagai bangsa yang paling beradab dan terkenal karena keramah-tamahannya juga kesopan-santunannya, plus kelegowo-annya. Singkatnya kita ini bangsa Pancasilais yang di dalam terkandung 5 (lima) unsur kebaikan atau kebajikan (ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, persatuan, permusyawaratan-permufakatan). Bangsa kita juga memiliki amanat dan cita-cita Proklamasi ’45 yang di dalam preambule nya termaktub tujuan yang sangat mulia didirikannya bangsa Indonesia dan bahkan untuk menjaga ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tetapi, kenapa semua itu seperti sirna dan lenyap begitu saja? Katanya, semua problem kagaduhan bangsa kita karena diakibatkan faktor KETIDAKADILAN?



Banyak jawaban, secara historis hal itu sulit dilepaskan dari reaksi negatif atas gelombang modernitas yang membanjiri negara-negara dunia ketiga pada awal abad ke-20. Pengaruh modernitas ini bukan hanya pada dimensi kultural, tetapi juga dimensi struktural-institusional, seperti sains dan teknologi serta instrumen modern lainnya, khususnya pandangan mengenai kesadaran kebangsaan yang melahirkan konstruksi negara-bangsa modern. Reaksi tersebut muncul akibat ketidakmampuan kultur masyarakat merespon nilai-nilai dan norma-norma baru yang diusung gelombang modernitas tadi.
Di sisi lain, ternyata sekarang sebagian masyarakat bangsa ini mulai lemah dan tercerabut dari akar kultur dan naturnya sebagai bangsa Indonesia (Nusantara). Mulai tak mengenali Pancasila sebagai falsafah atau pandagan hidup berbangsa dan bernegara (mulai kehilangan jati diri).
Mungkin, agaknya ada semacam trauma mendasar terhadap perlakuan eksesif akan Pancasila di era sebelum datangnya Reformasi 1998. Mengapa demikian? Sebab, Dasar Negara itu berubah menjadi ideologi tunggal dan satu-satunya sumber nilai serta kebenaran. Pancasila dijadikan ideologi yang komprehensif yang mengatur semua lini kehidupan masyarakat. Negara (Orde Baru) menjadi maha tau apa yang baik dan apa yang buruk buat masyarakat. Nilai-nilai itu selalu disematkan di benak masyarakat melalui indoktrinasi, yaitu melalui penerapan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Yaitu ”pemasyarakatan Pancasila” demi menjaga dan menjalankan Pancasila secara murni dan konskuen. Semua warga negara diajar untuk memahami, mengahayati, dan mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Sementara di sisi lain, prilaku penguasa Orde Baru pada waktu itu menunjukkan arah yang tidak seirama. Bahkan sebaliknya bertentangan dengan nilai dan semangat yang terkandung di dalam Pancasila.
Atas perlakuan semacam itu, Pancasila mau tidak mau senantiasa berbenturan dengan nilai-nilai/norma maupun ideologi yang hidup di tengah masyarakat seperti adat-istiadat, aliran kepercayaan, agama bahkan paham-paham ideologi dunia seperti sosialisme, komunisme, liberalisme dan kapitalisme. Benturan tersebut tidak hanya terjadi di levelan ide, bahkan melebar menjadi gesekan sosial politik yang tak jarang berujung pada pertumpahan darah. Trauma itu sampai sekarang belum lenyap. Ketika reformasi bergulir, diskursus ideologi merosot cukup dalam. Masalah itu seolah tidak relevan untuk dibicarakan. Masalahnya boleh jadi karena kita ”capek” dengan ideologisasi Pancasila semasa Orde Baru yang praktis dimonopoli negara. Pancasila hanya menjadi hafalan rutin setiap Senin pagi di sekolah-sekolah, kantor-kantor pegawai negeri, dan lain lain. Pancasila menjadi hanya sebatas bukan komunisme dan kapitalisme atau diingatkan akan bahaya ekstrim kanan maupun kiri, dan sebagainya.
Namun demikian, diskursus tentang ideologi Pancasila tidak bisa diabaikan begitu saja. Ketika bangsa ini tertatih-tatih dalam proses demokratisasi, konflik dan kekerasan yang muncul sewaktu-waktu, restorasi Indonesia dari krisis yang tak kunjung menemui titik cerah, sulit (limbo) merumuskan masa depan, dan segunung masalah lainnya, kita kemudian menengok kembali pentingnya sebuah ideologi yang kokoh serta ”akomodatif”. Yang menjadi pertanyaannya kemudian, ideologi seperti apa dan bagaimana?
Di sinilah kita bersama mencoba menjawab secara komprehensif seluruh persoalan tersebut di atas. Kita ingin menjelaskan betapa pentingnya Pancasila menjadi ”kompas” dalam perjalanan berbangsa dan bernegara yang kian mengalami dekadensi moral dan distorsi bangsa. Kita ingin menjelaskan begitu pentingnya Pancasila dihadirkan kembali dalam ruang publik yang belakangan sarat kontaminasi oleh kepentingan kelompok, nilai, maupun idelogi-ideologi privat. Selama ini domain sistem nilai ataupun ideologi yang bersifat privat seperti agama, adat-istiadat maupun paham ideologi asing yang hidup di tengah masyarakat kini telah salah ”tempat”. Nilai serta norma atau pun ideologi privat itu telah memasuki ruang publik.
Oleh karena itu, tugas kita bersama ke depan adalah bagaimana membumikan Pancasila kembali di hati bangsa ini, terutama sila yang membicarakan KEADILAN dan KEADABAN. Ada apa dengan dua kata besar ini? Karena keduanya saling memiliki keterkaitan erat satu-sama lainnya. Sebab, KEADILAN hanya akan muncul dari hati manusia yang BERADAB! Di luar itu tidak ada jaminan...[]
Demikian, Wallahul Muwaffiq Ilaa Aqwamit Tharieq, Wass,wr,wb.
Jakarta, Senin, 28 Agustus 2017
Gedung PBNU, Jl. Kramat Raya, no. 164
Hormat kami,

Abdul Ghopur
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa; Intelektual Muda NU
Keynote Speaker: Pengurus PBNU
Narasumber & Kontributor:

1. Chrisman Damanik (Ketua Umum Presidium GMNI)
2. Pengurus Pusat PMKRI
3. Korneles Galanjinjinay (Pengurus Pusat GMKI)
4. Septi Rahmawati (Ketua Umum PB. Korps PMII Puteri)
5. Daud Gerung (Pengurus PKC PMII DKI Jakarta)
6. Moses Latuihamalo (Social Entrepreneur)
7. Slamet Tohirin (Aktifis Penggiat Kebudayaan)
8. Rizky Afriono (SekJend LKSB)
9. Candra (GEMA Perhimpunan Indonesia Tiong Hoa/INTI)
10. Penri Sitompul (Founder Youth Movement Institute/YMI)
11. Abdul Ghopur (Direktur Eksekutif LKSB)

Peserta Kegiatan:
Kegiatan ini akan diikuti oleh perwakilan lembaga-lembaga kepemudaan dan kemahasiswaan, seniman & budayawan serta akademisi muda. (Azizian)

0 Komentar