NU Bogor -
Oleh : Herly Ramadhani ; Ketua IPNU PC Kota Adm Jakarta Utara
Tuan, beberapa minggu ini fikiranku digelayuti sebuah permasalahan, yaitu tentang PENCITRAAN, yang sebenarnya sudah lama menghantui namun beberapa minggu ini datang kembali. Hingga akhirnya daku menuangkannya di cangkir kedermawanan tuan yang bersedia menampung dan menyicipinya. Terima kasih daku haturkan
Jika tuan mencari kata “pencitraan” di dalam kamus kebahasaan (KBBI, seperti cetakan 2008), pastilah tuan tak menemukan. Tuan hanya akan dapatkan lema citra: n gambaran yg dimiliki orang banyak mengenai pribadi, mencitrakan: vmenggambarkan, citraan: n Sas cara membentuk citra mental pribadi. Sebab tuan, kosakata tersebut barulah populer di tengah era digital ini dari sebuah proses pergulatan politik beberapa tahun silam, khususnya pada pilpres 2014 lalu. Kata tersebut tuan, kurang lebih bermakna mencitrakan positif pada pribadi, seperti pribadi yang dekat dengan orang miskin, hidup sederhana, suka menolong, dermawan, adil dll, kepada orang lain. Terlebih didukung oleh era digital ini, dimana media, baik pertelevisian, cetak, dan media sosial memiliki peran penting dalam membangun opini di masyarakat. Begitulah kosa kata ini mulai akrab di telinga kami, tuan. Maka betul kata para linguis, bahwa setiap kata memiliki masa dan momentumnya masing-masing.
Duhai tuan, jika tuan mencari-cari komentar tentang pencitraan, konotasi negatif yang akan tuan dapatkan dari kebanyakan. Kata tersebut cenderung bermakna peyoratif, yang menunjukan usaha membuat sebuah citra positif pribadi di khalayak umum namun berbanding terbalik dengan realitas yang sesungguhnya, alias dusta. Namun bagi saya tuan, pencitraan ibarat 2 sisi mata uang, tergantung dari mana ia bertalak. Yang pertama, pencitraan bertalak dari kepalsuan. Sisi yang ini bagi saya sangat menyebalkan, munyusahkan. Menyusahkan orang lain sebagai objek pembodohan, orang setelahnya jika dalam kepemimpinan, karena terdapat tuntutan untuk lebih baik dari sebelumnya yang sudah kadung berjubah citra positif di mata khalayak, karena tinggal melanjutkan apa yang sudah jadi, padahal kenyataan tidak demikian, jauh panggang daripada api, jauh bayangan dari kenyataan, dan terakhir menyusahkan diri sendiri karena hidup dalam sebuah topeng kepalsuan. Dan kita tahu, menjadi orang baik itu sulit, namun lebih sulit lagi berpura-pura menjadi baik. Bukankah begitu tuan?. Selanjutnya yang kedua, pencitraan bertalak dari kesejatian, dalam artian pecintraan yang ditopang dengan realitas yang sesungguhnya. Model kedua ini saya tidak mempermasalahkan dalam beberapa konteks, terlebih dalam konteks persaingan, baik itu bisnis, organisasi, politik, dll sebagai strategi marketing, atau saya lebih suka menyamakannya dengan branding. Terlebih lagi pesaingnya menggunakan pencitraan model pertama.
Tuan, aku melihat ada kernyitan di dahimu, pasti tuan tengah bingung bagaimana membedakannya? Jawabannya adalah perhatikanlah konsistensi dan rekam jejaknya. Dan saya meyakini, pencitraan yang bertalak dari kepalsuan ibarat bom waktu bagi pemujanya. Tentu kita sering mendengar adagium “Ra’sudz dzunubi al-kadzib” (pangkal kesalahan/dosa adalah kedustaan), ketika kedustaan-kedustaan tersebut terus bertumpuk, tinggalah tunggu terbongkarnya. Biarlah waktu menjawabnya dan pena sejarah mencatatnya. Sebuah pribahasa kita mengatakan “Sepandai-pandai tupai melompat pasti akan jatuh juga” atau “Sebaik-baiknya orang menyimpan bangkai pasti akan tercium juga”, cepat atau lambat.
Dan terakhir tuan, pencitraan adalah sebuah realitas tak terhindarkan di era digital sekarang, meski dalam bentuknya yang sederhana sekali pun, dimana situs-situs jejaring sosial mulai menjamur dan berkembang, serta menjadi wasilah yang murah untuk sebuah pencitraan. Demikian pandangan pribadiku tuan tentang pencitraan. Mungkin tuan setelah ini akan mati kebingungan hehe..
0 Komentar