Media Sosial dan Bahaya Populisme bagi Kerukunan

Foto Ilustrasi
NU Bogor - Oleh: Khaerul Umam*)
Dinamika yang terjadi pada perhelatan Pilkada Jakarta tahun 2017 menunjukkan sesuatu yang baru, yakni meningkatnya gejala populisme di tengah masyarakat. Populisme menjadi trend bagi pihak-pihak yang ingin merebut kekuasaan dengan cara instan dan mengabaikan nilai etis dalam demokrasi. Gejala ini akan terus menghangat hingga hajat pemilihan presiden 2019 mendatang, bahkan dapat lebih lama.

Media sosial menjadi alat yang efektif bagi penyebaran isu-isu yang dapat mengarahkan masyarakat tanpa melalui proses klarifikasi. Melalui media sosial, informasi apapun dapat meyakinkan banyak orang asalkan dibangun melalui argumentasi yang kuat dan dianggap benar. Bahkan informasi yang masih jauh dari kebenaranpun bisa diyakinkan jika terus disebarkan dan menjadi dominan dalam nalar pembacanya. Kesalahan yang disebarkan seribu kali dapat menjadi sebuah kebenaran, demikian analoginya.

Persoalannya semakin runyam, manakala informasi yang disebar melalui media sosial tersebut diterima dalam situasi politik yang “memaksa” pembaca untuk memilih salah satu kandidat yang sedang bertarung dalam pilkada. Ia tidak hanya diterima sebagai informasi biasa, namun berbalut emosi yang mengabaikan kebenaran karena telah disingkirkan oleh ambisi pilihan terhadap calon yang disukainya.

Gejala populisme dalam era deokrasi sesungguhnya menjadi satu hal yang tidak dapat dihindari di alam demokrasi. Karena menuntut orang untuk mengarahkan pada pilihan yang ingin dimenangkannya. Namun, jika gejala ini digunakan oleh para provokator politik yang hanya mementingkan kekusaan dan keuntungan, maka yang tejadi adalah rusaknya tatanan kehidupan bermasyarakat. Kita akan kehilangan sesuatu yang sangat berharga bagi kehidupan ini yakni toleransi.

Betapa tidak, bangsa Indonesia yang beragam suku bangsa dan agama telah lama hidup dan dirawat oleh suatu sikap saling menhargai. Menurut Gus Solah,  tercapainya kesepakatan rumusan sila pertama pacasila “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah bentuk kesaling-mengetian antara para tokoh bangsa dalam mencari format bersama sebuah negara, yang anggotanya terdiri dari berbagai latar belakang perbedaan. Melalui toleransi yang terjaga tersebut, Indonesia dikenal sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai kerukunan.

Indonesia patut bangga menyandang gelar bangsa yang rukun, namun kebanggan tersebut jangan melenakan, seolah segalanya telah final. Hambatan terhadap kerukunan bangsa telah nyata adanya, dan populisme yang digunakan oleh para pialang kekuasaan merupakan wujud konkrit dari hambatan tersebut. Kerukunan akan mengalami sumbatan, karena menyebarnya isu anti ras dan agama yang digaungkan para pihak yang sedang bertarung merebut keuasaan. Isu ras dan agama menadi saran efektif untuk mengiring orang dalam sebuah pilihan politik. Terlebih di tengah kondisi ketimpangan ekonomi yang cukup berjarak. Saat eknomi belum menemukan keseimbangan, rasionalitas akan mengalami hambatan.

Situasi yang timpang ini menadi lahan basah bagi para pecalang kekuasaan untuk memanfaatkan sentimen agama dalam memuluskan hasrat jahat mereka. Masyarakat yang terbunuh rasionalitasnya akan menjadikan apapun yang menguasainya sebagai kebenaran. Dan masyarakat yang lemah kondisi ekonominya akan mudah terbawa arus, terlebih jika agama menjadi basis legitimasinya, benar dan salah adalah nomer sekian yang penting adalah kemenangan. Kerukunan dianggap tidak lebih sebagai nyanyian katak di musim penghujan.
Selamat tinggal Agama, dan selamat datang kitab suci baru, “media sosial” !

Penulis, Khaerul Umam
Peneliti Jare Institut, Dosen STAIN Kediri dan Pengurus Lakpesdam NU Kota Kediri

0 Komentar