![]() |
Urgensi Merawat Jejak Sejarah Dan Menjaga Jati Diri Bangsa |
Muhasabah Kebangsaan
catatan The 2nd Nanchong International Puppet Art Week (5)
Oleh : Al-Zastrouw
Pada hari ke 5 festival Nanchong, 5 juni 2017, kontingen Indonesia berkesempatan melakukan jalan-jalanke kota tua Langzhong. Kota ini terletak di bagian timur laut Sichuan dan berada di bagian tengah lintasan sungai Jialing.
Langzong dikenal sebagai salah satu dari empat kota tua di China, tiga yang lain adalah kota tua Pingyau, Lijiang dan Huizou. Kota yang memiliki sejarah 2300 tahun ini merupakan tempat pertama kali ditetapkan tahun baru China.
Sebagai bukti sejarah, di sini terdapat menara teropong bintang yang dibangun untuk mengenang ahli penanggalan China, Luo Xia Hung yang hidup pada masa dinasti Han (202 SM-9 M). Hung merupakan ahli astronomi yang berperan besar dalam ilmu astronomi dan penanggalan China.
Langzhong merupakan ibu kota imperium Ba kuno (476-221 SM). Pada masa kerajaan Huiwen dari dinasti Qim (221-207 SM) di sini dibangun sistem administrasi dan tata negara. Sejak saat itu kota ini menjadi acuan dalam penerapan tata negara dan sistem administrasi.
Kota ini memiliki keragaman budaya. Di sini berkembang falsafah Feng Sui, sejarah tiga kerajaan besar China, dimulainya festival musim semi, cikal bakal terbentuknya imperium kuno dan tumbuhnya berbagai macam agama dan keyakinan.
Suasana kota sangat nyaman dan tentram. Di sini ada kuil Zang Fei yang juga dikenal sebagai kuil Huan Hou. Kuil ini memiliki sejarah 1700 tahun dan menjadi saksi sejarah tiga kerajaan besar. Oleh Zanfei kuil ini pernah dijadikan benteng untuk menjaga Langzhong selama tujuh tahun. Banyak korban saat membangun kota gersebut dan setelah dia meninggal dijadikan monumen unt mengingat perjuangannya.
Di sini juga ada kuil Kong Hu Chu (Wenmiao), kuil bersejarah dan menjadi situs budaya. Kuil ini sudah ada sejak dinasti Qin, tempat guru agung Kong Hu Chu disemayamkan. Di tempat ini setiap tahun diselenggarakan upacara agung untuk mengenang pemikir dan pendidik Kong Hu Chu.
Penulis berjalan kaki memasuki lorong jalan yang bersih dan asri. Sampai di suatu tempat menulis melihat bangunan tua yang indah dan rapi. Itulah paviliun Tengwang, suatu komplek para pangeran. Paviliun ini dibangun atas permintaan pangeran Tengwang, putra ke 22 kerajaan Goazu, Li Yuan dari dinasti Tang. Bangunannya khas gaya Tang. Bangunan ini merupakan tempat berkumpul para pesohor, ilmuwan, penulis untuk ngobrol dan berdiskusi mengenai berbagai karya akademik, musik dan seni.
Dari tepian sungai Jialing terlihat bukit yang berada tepat di seberang kota tua. Di puncak bukit itu terlihat bangunan pagoda. Bangunan ini disebut kisah 13 menara pagoda putih. Pagoda ini dibangun pada masa akhir dinasti Ming ( 1271-1368 M). Jika naik ke atas bukit dan berdiri di halaman Pagoda, maka keindahan panorama kota tua Langzong akan terlihat secara menyeluruh.
Suasana kota ini benar-benar nyaman. Kami bebas berjalan tanpa diganggu oleh pedagang asongan atau ditawari aneka souvenir. Di sepanjang jalan memang penuh kios pedagang, namun tak ada yang berisik menawarkan dagangannya. Semua dagangan dipajang begitu saja, jika ada yang tertarik untuk membeli baru penjualnya melayani. Dengan demikian para turis bisa menikmati suasana secara nyaman tanpa gangguan.
Di suatu gang yang letaknya sedikit di luar komplek kota tua penulis melihat bangunan tua yang besar dan antik dengan halaman yang luas. Di tepian halaman itu berdiri bangunan dengan beberapa kamar. Di pintu gerbang ada sekelompok orang berkopyah putih sedang berbincang. Penulis mendekati orang-orang tersebut dan masuk ke area bangunan. Ternyata bangunan itu adalah masjid.
Sampai di dalam ada seorang anak muda usia 30an tahun memakai kopyah putih, penulis mengucapkan salam. Pemuda tersebut kaget, dengan sorot mata berbinar dia langsung menjawab salam. Kami saling berkenalan. Rupanya dia adalah imam di masjid tersebut.
Wajah pemuda tersebut makin ceria ketika tahu kami dari Indonesia. Dia menyambut kami dengan akrab dan hangat. Kami berbicara dalam bahasa Arab karena dia sama sekali tidak bisa bahasa Inggris. Sayang bahasa Arabnya hanya satu dua, sehingga penulis tidak bisa menggali informasi lebih dalam mengenai sejarah masjid tersebut. Sedangkan penterjemah kami sedang keliling bersama rombongan yang dipimpin pak Samodra, presiden UNIMA Indonesia. Penulis memang sengaja memisahkan diri dari rombongan agar bisa lebih leluasa menjelajah.
Meski dengan kosa kata terbatas dan agak terbata bata, penulis berhasil mengorek informasi bahwa di komplek kota tua itu ada sekitar 500an ummat muslim. Tidak ada madrasah di sana karena pemerintah melarang mendirikan pendidikan agama. Pengajaran agama Islam hanya dilakukan di Masjid.
Penulis benar-benar kagum dengan kemitmen keislaman mereka. Dalam situasi yang minim fasilitas dan di tengah kepungan arus materialisme yang kuat mereka bisa bertahan dalam keimanan.
Penulis merasa beruntung karena dalam perjalanan menjelajah lorong-lorong kota tua ini ditemani oleh mas Sapta, salah seorang pegawai BCA. Salah satu perusahaan yang menjadi sponsor UNIMA Indonesia dalam mengikuti event ini. Kebetulan mas Sapta mempunyai hoby fotografi, sehingga perjalanan kami di kota tua bisa diabadikan lewat gambar-gambar yang menarik. Meski masih mengaku sebagai fotografer amatir namun hasil jepretan mas Sapta tidak kalah dengan yang profesional
Penulis merasa, kedatangan UNIMA Indonesia ke China kali ini tidak sekedar mengikuti festival International Puppet Art Week, tapi juga merupakan perjalanan budaya (rihlah staqafah/cultural jurney) yang penuh makna dan memiliki arti penting bagi kehidupan berbangsa. Kerena ada pelajaran penting yang bisa diperoleh dari pejalanan ini
Tetus terang penulis kagum pada pemerintah dan masyarakat China. Mereka tidak saja menjaga tradisi dan budaya para leluhur, tetapi juga merawat berbagai bentuk peninggalan sejarah seperti yang terlihat di kota tua Langzhong ini.
Dengan merawat bukti sejarah masyarakat China bisa melihat dan mengenali jati dirinya, bisa mengetahui kebesaran para leluhurnya. Dengan cara ini maka tumbuh rasa percaya diri di kalangan anak muda dan mereka bangga menjadi bangsa China.
Rasa bangga dan percaya diri ini terlihat dari penggunaan huruf dan bahasa China. Meski kota tua Langzhong adalah komplek wisata internasional namun hampir tidak ada yang bisa bahasa Inggris dan semua informasi menggunakan huruf China. Seolah olah mereka ingin mengatakan bahwa inilah kami, bangsa China. Anda berada di wilayah kami, maka anda harus menggunakan budaya kami. Inilah bentuk rasa percaya diri dan kebanggan mereka pada tradisi dan budaya. Itu tercipta karena mereka faham atas sejarah dirinya.
Apa yang terjadi menunjukkan bahwa globalisasi tidak serta merta menggerus dan melindas lokalitas. Jika masyarakat memiliki daya tahan yang kuat dalam memelihara tradisi dan budaya, memili kesadaran dan pemahaman sejarah diri yang dalam maka globalisasi justru menjadi sarana mengaktulisasikan tradisi dan budaya yang ada dalam menyarakat tersebut dalam konteks global. Pendeknya, globalisasi merupakan kesemlatan unt mengglobalkan yang lokal seperti yang dilakukan oleh China.
Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar untuk melakukan hal ini. Karena Indonesia memiliki berbagai macam budaya lokal yang eksotik, unik dan menarik bagi masyarakat global baik yang berupa nilai-nilai, kearifan lokal maupun beragam karya seni budaya.
Untuk bisa mengglobalkan lokalitas tradisi dan budaya Nusantara diperlukan kepercayaan diri bangsa Indonesia dan hal ini hanya bisa terwujud jika bangsa Indonesia memahami sejarahnya dan mengenali sejarahnya.
Agar Indonesia tidak sesat jalan dalam menghadapi arus glonalisasi dan agat bangsa Indonesia memiliki kepercayaan dan kebanggaan diri maka satu-satunya jalan adalah menggali dan memperkenalkan budaya dan trafisi sendiri dan memahami sejarahnya sendiri.
Ini artinya setiap upaya penghancuran tradisi dan budaya lokal serta pengjilangan jejak sejarah harus dicegah dan dilawan karena hal itu berarti penghancuran spirit dan martabat suatu bangsa.
Nanchong, 6 juli 2017
0 Komentar