Rejuvenasi Pancasila, Perlukah Menimbang Jalan Baru?

Rejuvenasi Pancasila, Perlukah Menimbang Jalan Baru?
NU BogorBelakangan ini bergolak sebuah pertanyaan kritis di masyarakat, masih berfungsikah imaji kolektif kita sebagai bangsa? Pertanyaan ini mengemuka karena berturut-turut prestasi buruk kita raih di dunia; pemenang lomba korupsi, bangsa penghasil teroris, miskin, lamban dalam penanganan bencana alam serta negara tidak aman untuk investasi, dan lain-lain.


Dengan sederet prestasi terburuk tersebut, layakkah kita berbangga menjadi bangsa Indonesia? Tentu saja jawabannya sangat tergantung dari “posisi apa” yang sedang kita jalani sekarang. Jika posisi kita adalah TKI atau pengangguran, maka jelas, Indonesia tidaklah berarti apa-apa. Sebaliknya jika posisi kita adalah koruptor, pengusaha hitam, teroris, pejabat pemerintah, dan para “penjual ayat-penjual agama”, maka jelas, Indonesia adalah negeri sorga.



Pada saat yang bersamaan, Indonesia juga masih mengalami persoalan mendasar, yakni merosotnya nilai-nilai kebangsaan, nasionalisme, dan semangat kemajemukan sebagai bangsa yang multikultural. Masih saja ada upaya pengingkaran terhadap pluralitas bangsa Indonesia yang setiap saat dapat saja muncul ke permukaan. Sebagai bangsa yang multi etnis, ras, suku, budaya, bahasa, dan agama, secara jujur, kita masih belum bisa menghilangkan atau paling tidak meminimalkan apa yang disebut dengan barrier of psikology(batas psikologis/prasangka) terhadap sesama anak bangsa.


Itulah yang kerap memunculkan konflik bernuansa SARA di negeri ini, baik secara vertikal maupun horizontal. Ini dapat dibuktikan dengan makin maraknya tawuran antar kampung dan pelajar di berbagai daerah. Tawuran yang terjadi kerap kali mengatasnamakan komunitas, nama besar kampung atau sekolah, ras atau etnis, calon Kepala Daerah, bahkan atas nama agama dan Tuhan!


Fenomena maraknya kembali tradisi kekerasan dan radikalisme di tanah air beberapa waktu terakhir semakin memprihatinkan. Kekerasan atas nama apa pun adalah perbuatan yang melanggar hukum dan nilai-nilai humanisme universal. Bangkitnya gerakan radikalisme agama dewasa ini, secara historis sulit dilepaskan dari reaksi negatif atas gelombang modernitas yang membanjiri negara-negara muslim pada awal abad ke-20.


Pengaruh modernitas ini bukan hanya pada dimensi kultural, tetapi juga dimensi struktural-institusional, seperti sains dan teknologi serta instrumen modern lainnya. Khususnya pandangan mengenai kesadaran kebangsaan yang melahirkan konstruksi negara-bangsa modern. Reaksi tersebut muncul akibat ketidakmampuan kultur masyarakat merespon nilai-nilai dan norma-norma baru yang diusung gelombang modernitas tadi.


Pasca runtuhnya Orde Baru muncul fobia terhadap Pancasila. Dasar Negara itu seolah ikut tumbang dan larut bagai hilang tanpa bekas. Membincangkan Pancasila menjadi sesuatu yang menjemukan dan memuakkan, karena hampir selalu identik dengan rezim Orde Baru. Agaknya ada semacam trauma mendasar terhadap perlakuan eksesif akan Pancasila.


Mengapa demikian? Sebab, Dasar Negara itu berubah menjadi ideologi tunggal dan satu-satunya sumber nilai serta kebenaran. Pancasila dijadikan ideologi yang komprehensif yang mengatur semua lini kehidupan masyarakat. Negara (Orde Baru) menjadi maha tahu apa yang baik dan apa yang buruk buat masyarakat.


Nilai-nilai itu selalu disematkan di benak masyarakat melalui indoktrinasi, yaitu melalui penerapan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Yaitu ”pemasyarakatan Pancasila” demi menjaga dan menjalankan Pancasila secara murni dan konskuen. Semua warga negara diajar untuk memahami, mengahayati, dan mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Sementara di sisi lain, prilaku penguasa Orde Baru pada waktu itu menunjukkan arah yang tidak seirama. Bahkan sebaliknya bertentangan dengan nilai dan semangat yang terkandung di dalam Pancasila.


Atas perlakuan semacam itu, Pancasila mau tidak mau senantiasa berbenturan dengan nilai-nilai/norma maupun ideologi yang hidup di tengah masyarakat seperti adat-istiadat, aliran kepercayaan, agama, bahkan paham-paham ideologi dunia seperti sosialisme, komunisme, liberalisme dan kapitalisme. Benturan tersebut tidak hanya terjadi di levelan ide, bahkan melebar menjadi gesekan sosial politik yang tak jarang berujung pada pertumpahan darah.



Trauma itu sampai sekarang belum lenyap. Ketika reformasi bergulir, diskursus ideologi merosot cukup dalam. Masalah itu seolah tidak relevan untuk dibicarakan. Masalahnya boleh jadi karena kita ”capek” dengan ideologisasi Pancasila semasa Orde Baru yang praktis dimonopoli negara. Pancasila hanya menjadi hafalan rutin setiap Senin pagi di sekolah-sekolah, kantor-kantor pegawai negeri, dan lain lain. Pancasila menjadi hanya sebatas bukan komunisme dan kapitalisme atau diingatkan akan bahaya ekstrim kanan maupun kiri, dan sebagainya. Faktor lainnya adalah bubarnya Uni Soviet, negara yang dianggap sebagai biang dari ideologi komunisme. Lantas, buat apa memperbincangkan Pancasila jika yang ada saat ini hanya satu kekuatan, yakni ”ideologi” Barat, neoliberalisme dan neokapitalisme.


Pertanyaannya, seberapa kokoh Pancasila bila diperhadapkan dengan ideologi Barat tersebut? Sejauh mana ketahanan ataupun ketangguhan Pancasila sebagai ideologi yang belum ”jadi”? Dari sinilah perdebatan mengenai ideologi seakan menjadi sia-sia. Dus, kekuatan Barat seakan tidak mungkin dilawan, apalagi oleh negara sedang berkembang seperti Indonesia yang sedang dilanda krisis yang cukup berat dan multidimensi.


Namun demikian, diskursus tentang ideologi tidak bisa diabaikan begitu saja. Ketika bangsa ini tertatih-tatih dalam proses demokratisasi, konflik, dan kekerasan yang muncul sewaktu-waktu, restorasi Indonesia dari krisis yang tak kunjung menemui titik cerah, sulit (limbo) merumuskan masa depan, dan segunung masalah lainnya, kita kemudian menengok kembali pentingnya sebuah ideologi yang kokoh serta ”akomodatif”. Yang menjadi pertanyaannya kemudian, ideologi seperti apa dan bagaimana?


Di sinilah kita bersama mencoba menjawab secara komprehensif seluruh persoalan tersebut di atas. Kita ingin menjelaskan betapa pentingnya Pancasila menjadi ”kompas” dalam perjalanan berbangsa dan bernegara yang kian mengalami dekadensi moral dan distorsi.

Kita ingin menjelaskan begitu pentingnya Pancasila dihadirkan kembali dalam ruang publik yang sarat kontaminasi oleh kepentingan kelompok, nilai, maupun idelogi-ideologi privat. Selama ini domain sistem nilai ataupun ideologi yang bersifat privat seperti agama, adat-istiadat maupun paham ideologi asing yang hidup di tengah masyarakat kini telah salah ”tempat”. Nilai serta norma ataupun ideologi privat itu telah memasuki ruang publik. Misalnya, pelaksanaan Perda Syariah di kota Tangerang dan tuntutan Perda Injil di Papua beberapa waktu silam. Dus, maraknya sebagian kecil kelompok masyarakat yang menginginkan Khilafah dengan mengklaimnya sebagai tuntutan dan kewajiban syar’i yang justru “membajak” nilai-nilai Islam yang rahmatan lil’alamin. Nilai atau norma agama tersebut merupakan nilai yang dipercayai dan dimiliki oleh komunitas-komunitas tertentu dalam sebuah entitas yang bernama Indonesia. Nilai itu belum tentu dipercayai dan dimiliki oleh komunitas lain yang memiliki kepercayaan lain, yang menjadi bagian integral dari entitas bangsa Indonesia.


Dalam hal ini mari kita menggugah khalayak bahwa Pancasila masih sangat membutuhkan penyegaran pemahaman. Alasannya cukup jelas, perjalanan bangsa selama era Reformasi kerap mengalami disorientasi ketika dihadapkan dengan berbagai pilihan dan persoalan. Para pengambil kebijakan lebih memilih pertimbangan pragmatis jangka pendek ketimbang bersusah payah mematangkan visi bangsa yang telah dimiliki. Selain itu, harus disadari pula, bahwa pertarungan ideologi dunia masih belum berakhir. Paling tidak, faktor itu ikut memengaruhi pola pikir kita dalam merekonstruksi masa depan pembangunan bangsa.


Misalnya, bagaimana proyeksi pembangunan ekonomi Indonesia ke depan. Coba perhatikan perdebatan sengit oleh sejumlah akademisi mengenai amandemen pasal 33 UUD 1945. Perdebatan yang tidak menghasilkan kesimpulan konklusif ini akhirnya menyisakan dua kutub gagasan; mereka yang pro-ekonomi pasar dan mereka yang mendukung gagasan ekonomi kerakyatan. Sayangnya, perdebatan tersebut tidak banyak bergaung dan menjadi perhatian serius publik. Perhatian sebagian besar publik dari berbagai kalangan lebih banyak tertumpah misalnya, pada isu pemilihan presiden secara langsung ataupun perdebatan hubungan antara negara dan agama.


Lantas, bagaimana menyegarkan pemahaman kita terhadap Pancasila? Di sinilah  kita bersama wajib memberikan sketsa gagasan bagaimana seharusnya norma-norma Pancasila dan konstitusi diterjemahkan. Bagaimana Pancasila diletakkan. Bercermin pada sejarah awal saat dirumuskannya, ideologi bangsa itu harus dipahami sebagai konsensus dasar atau kontrak sosial (gentlemen agreement) antara berbagai komunitas untuk mengikat diri menjadi satu bangsa, Indonesia.


Pada perkembangannya kemudian, terutama paruh kedua tahun 1950-an, Pancasila seolah menjadi simbol kelompok nasionalis. Kelompok lain yang turut berperan merumuskan Pancasila, kelompok Islam misalnya, seolah tidak berhak memilikinya. Muaranya terletak pada friksi gagasan dalam Konstituante. Badan yang semula diamanatkan untuk merumuskan UUD yang definitif, malah menjadi ajang kontestasi ideologi sangat sengit antar kelompok. Ada semacam ambisi untuk menyejajarkan Pancasila dengan ideologi besar dunia. Sebagaimana diketahui, badan itu akhirnya gagal menyusun konstitusi baru, dan akhirnya dibubarkan Soekarno dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1945 yang didukung militer. Selanjutnya, Pancasila diambil alih negara.

Bahkan, pada masa Demokrasi Terpimpin, Soekarno memonopoli tafsir, dan meletakkannya sebagai ”benda keramat” seperti tercermin dalam kata-kata ”Pancasila adalah azimat”. Satu-satunya ideologi yang boleh hidup hanyalah Pancasila versi Soekarno yang dijabarkan dalam Manipol/Usdek. Sedangkan paham-paham lain harus menyingkir. Manipol/Usdek adalah singkatan dari Manifesto Politik (Manipol), [U]UD 1945, [S]osialisme ala Indonesia, [D]emokrasi Terpimpin, [E]konomi Terpimpin dan [K]epribadian Indonesia (USDEK).


Gagasan Manipol Usdek dan penekanan Bahwa Pancasila adalah satu-satunya alat pemersatu atas berbagai persoalan bangsa jelas menunjukkan keinginan Soekarno meletakkan Pancasila sebagai sebuah idologi yang konklusif. Keinginan Soekarno itu sebagaimana tercermin dalam pidatonya tanggal 17 Agustus 1959 berjudul ”Penemuan Kembali Revolusi Kita” dan pidato pada tanggal 17 Agustus 1960 berjudul ”Djalannja Revolusi Kita (Jarek)”. Nah, Manipol dan Usdek merupakan inti materi dari dua pidato Soekarno tersebut. Gagasan Manipol/Usdek itulah yang dipahami Soekarno sebagai tafsir terhadap Pancasila. Keduanya merupakan satu kesatuan.


Sambil mengibaratkan posisi Quran dan Hadits, Soekarno mangatakan, ”Quran dan Hadits shahih merupakan satu kesatuan, maka Pantjasila dan Manifesto Politik dan Usdek pun merupakan satu kesatuan.. Quran dijelaskan dengan Hadits, Pantjasila dijelaskan dengan Manifesto Politik serta intisarinja jang bernama USDEK. Manifesto Politik adalah pemantjaran daripada Pantjasila! USDEK adalah pemantjaran daripada Pantjasila. Manifesto Politik, USDEK dan Pantjasila adalah terdjalin satu sama lain.”


Upaya Soekarno menjadikan Manipol/USDEK sebagai tafsir resmi menandai perubahan penting Pancasila menjadi ”ideologi negara” yang bersifat resmi, tunggal, dan hegemonik. Seluruh kekuatan masyarakat dikerahkan untuk mengenal dan ”mengamalkan” pengertian resmi itu sambil mengharamkan segala paham yang tidak bersesuaian dengannya.

Kecenderungan itu pun berlanjut pada masa Orde Baru. Sekali lagi Pancasila diperlakukan seperti ”azimat” yang tidak boleh diganggu-gugat. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, kemurnian Pancasila dijaga dengan senjata sambil mengharamkan semua paham maupun tafsir di luar versi negara. Pancasila diperlakukan secara monopolistik sebagai ideologi yang komprehensif dan satu-satunya kebenaran. Pancasila pun dijadikan alat legitimasi kekuasaan. Bahkan warga negara yang berusaha memberi tafsir berbeda akan dicap anti-Pancasila. Pancasila menjadi sesuatu yang amat ditakuti. akhirnya, kini ketika rezim berganti, Pancasila menjadi sangat kehilangan ruh serta elan vitalnya. Pancasila sebagai paradigma operasional mengalami devitalisasi karena tidak berhasil meneguhkan perannya sebagai practical-glue/perekat operasional yang nyata.


Oleh sebab itu, penegasan bahwa sebagai ideologi yang belum ”jadi”, Pancasila membutuhkan kerangka kerja yang lebih lengkap untuk mengoperasionalisasikannya dalam kehidupan nyata. Pancasila harus menjadi referensi utama praksis negara, yang harus bisa membaca berbagai perubahan fenomenal yang dialami bangsa. Pancasila harus melakukan reverifikasi atas peran monolitiknya, sebagai instrumen persuasif bangsa. Dengan cara itu kita dapat mengontekstualisasikan Pancasila sesuai semangat zaman. Jika tidak demikian, Pancasila akan hanya menjadi illiterate-ideolgy/ideologi buta huruf, atau sekadar blind-rhetoric.


Untuk menguatkan hal itu, pemahaman terhadap Pancasila pada level infrastruktur politik juga harus mendalam. Artinya, kehidupan masyarakat keindonesiaan harus terus-menerus didorong untuk memperkuat nilai-nilai Pancasila sebagai perekat bangsa. Untuk itu ada sebuah agenda penting, yakni bagaimana menumbuhkan semangat multikulturalisme yang bertumpu pada ketergantungan sebuah komunitas dengan komunitas lain. Kesadaran bahwa suatu komunitas tidak bisa hidup tanpa komunitas lainnya. Interdependensi itu mutlak dikembangkan agar tidak muncul superioritas kebudayaan satu dengan kebudayaan lain.


Atas persoalan di atas, kita perlu menegaskan lagi bahwa ketidak-arifan dalam memaknai dan meletakkan Pancasila dalam kadar proporsinya hanya akan membuat Pancasila menjadi kehilangan arti. Tetapi, sebaliknya, usaha kita untuk meyakinkan akan pentingnya bahkan semakin pentingnya Pancasila dewasa ini. Itulah pentingnya memahami secara komprehensif Pancasila dari awal dirumuskannya hingga perjalanannya melalui Demokrasi Terpimpin-nya Bung Karno, Orde Barunya Soeharto, sampai dengan era Reformasi saat ini.


Tugas generasi hari ini dan mendatang adalah berusaha keras menjelasjabarkan pengertian Pancasila tidak hanya sebagai ideologi dan Dasar Negara, tetapi juga menjelaskan kaitan di antara Pancasila dengan agama, dan lain-lainnya. Yang terpenting adalah upaya mengembalikan ”citra” Pancasila dan  berusaha membuktikan pentingnya Pancasila bagi kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini maupun di masa yang akan datang.


Terkait hal ini, menjadi persoalan yang menarik pula, bagaimana mengaitkan antara ritual ibadah puasa Ramadhan di satu sisi, dan iman serta rasa cinta tanah air di sisi lainnya dalam mempertahankan jati diri bangsa dan nasionalisme. Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB) merasa memiliki kewajiban dan tergerak untuk secara bersama mengajak seluruh elemen bangsa untuk meneguhkan kembali rasa nasionalisme dan jati diri bangsa Indonesia. Kajian dan penelitian akan dilakukan beberapa waktu kedepan.

Abdul Ghopur
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa; Intelektual Muda NU.
dari Gedung PBNU, Jl. Kramat Raya, no. 164, Jakarta, Senin (12/6/2017).

0 Komentar