Muhasabah Kebangsaan : Giri Komara Benteng Budaya

Giri Komara Benteng Budaya
NU Bogor -

Muhasabah Kebangsaan
Catatan The 2nd Nanchong International Puppet Art Week (4)

Oleh : El-Zastrouw

Penampilan session terakhir kontingan UNIMA Infonesia dalam fest wayang Internasional II di Nanchong, Tiongkok yang diwakili sanggar Giri Komala Bandung berjalan dengan sukses dan meriah.
Pagelaran outdor di zona 1227 shopping mall Nanchong ini menyedot perhatian ratusan penonton. Beberapa peserta dari Belanda, Spanyol, Italia, Jerman, Ukraina dan Rusia hadir menyaksikan penampilan tim Indonesia dan memerikan respon yang sangat positif. Bahkan Sekjen UNIMA, Idoya, naik ke atas panggung untuk memberikan apresiasi dan ucapan selamat atas penampilan kontingen Indonesia.
Meski diguyur gerimis, penonton tidak bubar meninggalkan arena pertunjukan. Mereka memggunakan payung, plastik penutup kepala sampai kertas kardus untuk menahan gerimis. Beruntukung karena gerimis hanya sementara sehingga penonton bisa kembali menikmati pagelaran dengan nyaman.
Penampilan Giri Komara kali ini memang patut diacungi jempol. Meski bahasa mereka tidak bisa dipahami penonton namun permainan wayang dengan gestur yang ekspresif dan atraktif serta tata. musik yang dinamik dan kreatif telah berhasil menggaet perasaan dan menggetarkan hati penonton. Sehingga mereka larut dalam alur cerita yang dimainkan.
Sanggar Giri Komara yang menjadi perwakilan UNIMA Indonesia merupakan potret keberbasilan anak muda yang menjadi benteng tradisi. Anak-anak muda kreatif ini memilih menekuni seni tradisi jalur pengabdian. Suatu pilihan langka dan dan penuh resiko di tengah kepungan arus modernisasi yang menggerogoti gaya hidup anak muda.
Kita layak berterima kasih pada mereka, karena melalui mereka tradisi dan seni budaya bisa dikenal dan dikagumi publik internasional. Lebih dari itu, melalui anak-anak muda yang tergabung dalam sanggar Giri Komara ini seni tradisional dengan segala nilai dan ajarannya bisa terjaga dan dipertahankan.
Kontingen Indonesia pada The 2nd Nanchong International Puppet Art Week
Memang ada banyak orang berpandangan pejoratif terhadap tradisi, bahkan banyak yang menganggap tradisi sebagai beban dan penghambat kemajuan suatu bangsa. Akibatnya mereka berusaha menghancurkan tradisi. Padahal secara factual, bangsa yang berhasil menjadi bangsa maju dengan karakter yang kuat justru bangsa yang berhasil mengembangkan tradisinya. Yaitu bangsa yang menjadikan tradisi sebagak pijakan kreatifitas membangun peradaban. Seperti yang terjadi di China, Jepang dan negara-negara Eropa. Sedangkan bangsa yang menghancurkan tradisinya sendiri menjadi bangsa yang punah atau lemah seperti bangsa Kurdi.
Pentingnya menjaga tradisi atau menjadikannya sebagai rujukan sudah diingatkan oleh para leluhur Nusantara. Misalnya dalam serat Wedhatama pupuh 15-18 yang dinyatakan hendaknya kita meneladani laku utama para leluhur Nusantara yang tercermin pada sosok Sultan Agung (nuladha laku utama, wong agung ing Ngeksi Gondo… dan seterusnya)
Dalam serat prabu Dharmasiksa (amanat Galunggung) juga disebutkan pentingnya menjaga tradisi melalui kesadaran sejarah: Hana nguni hana mangke//tan hana nguni tan hana mangke//aya na baheula hanteu tu ayeuna//hanteuna baheula hanteu tu eyeuna (ada dahulu ada sekarang; tidak ada dahulu tidak akan ada sekarang; karena ada masa silam maka ada masa kini; bila tdk ada masa silam tidak akan ada masa kini)
Pandangan para leluhur ini sesuai dengan pendapat Shils mengenai fungsi tradisi. Menurut Shils tradisi berfungsi pertama sebagai resources dan referensi membangun masa depan; kedua sebagai legitimasi atas pandangan hidup, keyakinan, pranata sosial dan aturan yang berlaku dalam suatu masyarakat;
Ketiga tradisi berfungsi sebagai simbol identitas kolektif yang bisa memperkuat loyalitas dan solidaritas suatu komunitas; sebagai kanalisasi (tempat pelarian) dari kekecewaan terhadap modernitas.
Jelas di sini terlihat betapa penting dan strategisnya fungsi tradisi bagi masyarakat. Tradisi bisa menjadi sarana menjaga eksistensi suatu masyarakat.
Meski memiliki peran penting dan posisi strategis namun upaya menjaga  tradisi belum mendapat perhatian yang memadai dari masyarakat maupun pemerintah. Nasib para penjaga tradisi dan penggiat seni tradisional, seperti wayang, masih seperti anak yatim. Mereka harus menghidupi diri sendiri di tengah kepungan dan tekanan arus modernitas, padahal kondisi mereka msh sangat rapuh. Hanya tekat dan panggilan jiwa yang membuat semangat mereka terus menyala.
Mengingat penting peran tradisi dan seni tradisional dalam kehidupan suatu bangsa, maka perlu adanya gerakan mencintai dan mengenali tradisi di kalangan masyarakat yang perlu mendapat dukungan serius dari pemerintah. Tanpa adanya kesadaran menjaga tradisi, bangsa ini akan terus mengalami defisit tradisi yang bisa menimbulkan masyarakat tuna budaya. Dan itu artinya masyarakat biadab.

Nanchong, Tiongkok 5 Juni 2017

0 Komentar