![]() |
Nishfu Sya'ban dan Kebenaran |
NU Bogor - Mengilustrasikan pendapat dari salah seorang ulama besar di negeri ini KH. M. Quraisy Shihab, bahwa benar dalam Islam itu ibarat angka 10. Jadi untuk memperoleh dan menuju kebenaran itu bisa menggunakan 5 + 5, 9 + 1, 100 - 90,..... dan seterusnya.
Jadi siapa saja yang menafsirkan kebenaran itu sah-sah saja. Karena luasnya ilmu yang Tuhan hamparkan di dunia ini. Apakah itu dengan cara 3 + 7, 5 + 5, 15 - 5, dan sebagainya. Tidak perlu memonopoli bahwa yang paling benar adalah 5 + 5. Di luar itu salah.
5 + 5 itu hanya salah satu metode dan cara saja untuk mencapai angka 10. Bahwa 5 + 5 itu adalah cara yang benar dan iya sehingga harus diakui, tapi tidak perlu menuduh 3 + 7, 30 - 20, 2000 - 1990, dan lain-lain itu salah.
Saya teringat kemarin ada salah satu teman yang membagikan video youtube berisi pengajian salah satu jamaah dari ustadz yang cukup kondang. Temanya tentang Nisfu Sya'ban. Menurut penafsiran beliau, tidak ada dalil yang menjelaskan bahwa Rasulullah ketika Malam n
Nisfhu Sya'ban itu melakukan baca Yasiin dan membawa air serta Shalat Nisfhu Sya'ban. Itu Bid'ah dan salah.
Sebagai seorang awam saya iyakan saja pendapat sang ustadz. Mungkin dengan metode itu ia mendapatkan rezeki. Tapi kemudian ada hal janggal yang seorang anak SD bahkan atheis pun paham, bahwa jika sang ustadz harus konsisten untuk mengatakan hal yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah itu bid'ah, seharusnya sang ustadz juga tidak menggunakan saluran listrik sebagai saluran pelantang (pengeras suara) yang ia gunakan, tidak usah juga berdakwah dengan cara upload di media sosial. Karena semua itu tidak ada di zaman Rasul. Bid'ah.
Tidak ada yg salah dengan tuduhan bid'ah, memang begitu adanya. Hanya konsistensi saja yang diragukan. Dan konsistensi itu tidak hanya argumen keagamaan, tapi argumen sosiologis yang siapa saja bisa mengaksesnya tanpa harus berlabel ustadz atau Ulama. Maka untuk mengkritisi konsistensi tidak harus ulama pula.
Umat hari ini perlu menyadari bahwa untuk mencapai kebenaran itu ada banyak cara. Tapi harus konsisten dan beradab juga metodenya. Tidak serta merta menyebut salah, sesat, kafir bagi pegiat agama di luar pemikirannya.
Jika memang membaca Yasiin saat malam nisfhu sya'ban itu bid'ah. Saya berpendapat diperbanyak saja tindakan bid'ah semacam itu. Apakah membaca surat Yasiin itu salah? Ada mudharatnya? Sesat? Kafir? Mengerikan.
Membaca surat Yasiin itu kan dilakukan kapan saja sebagai ibadah dalam mengkaji al-Qur'an. Jika ada pengkhususan dibaca 3 balik dalam malam nisfu syaban, itu kan ekspresi bersyukur umat atas ingatan di pertengahan syaban yang artinya separuh bulan lagi umat Islam kembali bertemu bulan suci Ramadhan, bulan yang penuh maghfirah.
Apakah ekspresi syukur itu salah? Bahkan bid'ah saja menurut saya tidak mendapat tempatnya dalam konteks ini. Bahwa jika membaca surat Yasiin itu bertepatan pada malam Nishfu Sya'ban dan berkumpul di surau, langgar, mushalla, atau masjid itu adalah bagian dari memakmurkan tempat ibadah dengan doa-doa yang dipanjatkan. Membawa air adalah bagian dari penghormatan pada ciptaan Allah yang begitu banyak manfaatnya. Tidak ada keharusan juga membawa air. Dan tidak juga dikultuskan pada air itu sebagai jimat atau berhala. Hanya air saja yang bisa diminun kapan saja. Lantas jika ada yang percaya air itu bisa mencerdaskan, apa salahnya percaya dan yakin setiap sesuatu yg diciptakan Allah itu memberi kebaikan.
Lantas apa hubungannya air dengan bacaan Yasiin saat nishfu sya'ban? Sebagian beranggapan tidak ada, sebagian lain mungkin ada. Setidaknya membawa air itu untuk diminum ketika membaca Yasiin 3x dan doa-doa yang cukup menguras dahaga. Apa salahnya juga memuji Allah melalui ciptaan-Nya seperti air.
Tidak perlu bernalar sempit dengan menuduh itu salah, haram, sesat, kafir. Jadi saya ingin tegaskan bahwa malam nishfu sya'ban itu sebagai pengingat akan datangnya bulan suci ramadhan, jadi ketika ada umat yg bersyukur dengan membaca surat dalam Al-Qur'an dan shalat tanda syukur serta membawa air untuk melepas dahaga dari bacaan panjang itu adalah bagian dari upaya mencintai Allah. Jadi tidak perlu dituduh macam-macam terhadap ikhtiar positif itu.
Tuduhan bid'ah itu politis. Bahwa seolah si penuduh ingin memonopoli kebenaran dan meluaskan pengaruh kekuasaan pada umat. Sempit sekali cara pandang yag segala sesuatunya harus dihubungkan dengan hal yang tidak pernah Rasul lakukan. Tidak melihat dari sisi lain yaitu sebagai wujud syukur hamba atas karunia nikmat-Nya. Rasul tidak melakukan itu memang sà at nishfu sya'ban, tapi Rasul sering bersyukur dan menajatkan doa-doa. Tidak pula Rasul membaca surah Yasiin karena surat Yasiin saja baru terkodifikasi dan disusun jauh setelah Rasul wafat. Dilakukan era sahabat Utsman bin Affan. Jadi, wajar jika Rasul tidaķ pernah secara spesifik membaca surat Yasiin, karena belum ada susunannya. Maka umat hari ini yang telah dimudahkan dengan kodifikasi dan susunan ayat-ayat suci al-Qur'an sangat wajar dan dianjurkan untuk mensyukuri fasilitas kemudahan ini. Tidak perlu dibid'ahkan atau dituduh sesat.
Jadi rasa syukur dan mengingat Allah lebih utama dalam malam nisfu syaban itu bagian dari implementasi dari al-Qur'an tepatnya Surat al-Baqarah ayat 152, Fadzkuruunii adzkurkum, wasykuruulii wa laa takfuruun yang artunya maka ingatlah pada Allah, niscaya Allah akan selalu mengingat hamba-Nya, dan bersyukurlah kepada Allah jangan ingkar.
Wallahul Muwafiq Ila Aqwani Thariq
Aziz Ian
Wakil Ketua Bidang Kaderisasi PaC GP. Ansor Kecamatan Klapanunggal
0 Komentar