![]() |
Abdul Ghopur : Godot itu bernama Pancasila |
Indonesia merupakan negara besar; terdiri dari beragam etnis, suku, ras, bahasa, agama dan budaya. Spesifikasi dan keunikan Indonesia tersebut merupakan kekayaan bangsa yang patut dibanggakan dan disyukuri, serta harus dijaga sekuat-kuatnya. Oleh sebab itu setiap warga negara–bangsa Indonesia wajib mengelola dan menjaga pluralitas tersebut agar mendatangkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang damai, harmonis dan sejahtera–berkeadilan.
Kebesaran Indonesia juga dapat dilihat dari fisik geografisnya. Wilayahnya yang membentang panjang dari Sabang Sampai Merauke, memiliki 17.504 pulau (sampai 2004) tetapi belum seluruhnya diverifikasi dan diberi nama berdasarkan definisi pulau (Pusat Survei dan Pemetaan TNI Angkatan Laut, 2004), hutan terluas di dunia (121 juta hektar) dan terkaya ketiga setelah Brasil dan Konggo dalam mega biodiversity (Koes Sapariadi, 2006), luas perairan Nusantara + 28 juta km, luas laut teritorial + 03 juta km, luas perairan ZEE + 27 km, serta memiliki sumber daya alam (SDA terlengkap di dunia. Jumlah penghuninya mencapai 220 jutaan yang menurut perhitungan nanti pada tahun 2015 diperkirakan mencapai 250 juta jiwa dan 2050 bisa mencapai 290 juta (Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2007).
Kekayaan bangsa Indonesia di atas (baik secara sosiologis, antropologis maupun geografis) sudah selayaknya dikelola secara bijak, bertanggungjawab dan berkeadilan. Namun sayang, kekayaan alam Indonesia yang berlimpah ruah dan beraneka ragam jenisnya, baik yang terkandung dalam laut maupun perut bumi Indonesia tidak dikelola secara bijak dan berkeadilan. Tengok saja faktanya bahwa tidak semua warga negara-bangsa Indonesia bisa mengakses sumber daya alam secara mudah dan murah. Munculnya kelangkaan serta tiadanya jaminan ketersediaan pasokan minyak dan gas di negeri sendiri merupakan kenyataan paradoks dari sebuah negeri yang kaya akan sumber daya alam. Di tengah kelangkaan energi di dalam negeri, pemerintah justru mengekplorasi sumber-sumber energi dan mengeksploitasinya serta menjual hasil SDA secara murah demi memenuhi kepentingan pihak-pihak asing. Ini jelas sangat merugikan secara ekonomis, yang pada gilirannya berdampak pada menurunnya tingkat kesejahteraan rakyat dan kemandirian ekonomi bangsa.
Di sisi lain, Indonesia juga masih mengalami persoalan mendasar, yakni merosotnya nilai-nilai kebangsaan, nasionalisme dan semangat pluralitas sebagai bangsa yang multikultural. Masih saja ada upaya pengingkaran terhadap pluralitas bangsa Indonesia yang setiap saat dapat saja muncul ke permukaan. Sebagai bangsa yang multi etnis, ras, suku, budaya, bahasa dan agama, secara jujur kita masih belum bisa menghilangkan atau paling tidak meminimalkan apa yang disebut dengan barrier of psicology (batas psikologis/prasangka) terhadap sesama anak bangsa. Itulah yang kerap memunculkan konflik bernuansa SARA (istilah Orba) di negeri ini baik secara vertikal maupun horizontal. Sebagai sebuah bangsa besar yang majemuk dan telah berdiri selama 66 tahun lalu, kita seperti kehilangan nalar publik untuk hidup bersama atas dasar semangat kesatuan dan persatuan nasional. Bangsa ini seperti telah mengingkari semangat cita-cita bersama didirikannya “Indonesia Merdeka.”
Pancasila sebagai nalar publik dianggap oleh sebagian kalangan sudah tidak relevan lagi terhadap semangat zaman. Bagi para penganut ekonomi fundamentalisme pasar (orang sering menyebutnya ekonomi neoliberal), Pancasila, UUD 45 dan cita-cita proklamasi, justru dianggap sebagai penghambat laju ekonomi yang bersandar pada kapitalisme. Oleh karenanya perlu disingkirkan dan digantikan dengan paham ekonomi yang mendasarkan dan menyandarkan diri pada semangat pasar bebas tanpa intervensi negara sama sekali. Meski kita tahu belum pernah ada, dan hampir pasti tidak mungkin ada, negara demokratis-modern yang terkonsolidasi dengan rezim ekonomi pasar murni," demikian tesis dari Juan J. Linz dan Alfred Stepan (2001). Padahal ekonomi yang mendasarkan pada konsep fundamentalisme pasar terbukti gagal dan telah menyengsarakan rakyat, dan sedikit sekali memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional secara keseluruhan, baik makro maupun mikro.
Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa Pancasila dianggap sudah tidak relevan lagi dengan semangat zaman? Jawabnya mungkin bisa dijawab dengan kalimat negatif. Yaitu, karena makna Pancasila yang paling mendasar dan sangat penting sebagai nalar publik sudah semakin sulit dikenali. Orang melihat banyak ajaran yang baik dan luhur dari Pancasila, tetapi semua itu seolah tidak ada hubungannya dengan realitas kehidupan sehari-hari. Di masa Orde Baru, yang berkuasa selama 32 tahun, telah dilakukan usaha untuk menempa identitas ideologis yang secara historis otentik sekaligus berbeda dengan identitas ideologis regim Soekarno. Yaitu, dengan cara mengklaim kembali dan membentuk ulang Pancasila. Negara (Orde Baru) menjadi maha tahu apa yang baik dan apa yang buruk buat masyarakat. Semua warga negara-bangsa Indonesia mengalami indoktrinasi melalui penerapan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), yakni “pemasyarakatan Pancasila” demi menjaga dan mengamalkan Pancasila secara murni dan konsekuen. Atas perlakuan semacam itu, Pancasila mau tidak mau senantiasa berbenturan dengan nilai-nila, norma, adat-istiadat, aliran kepercayaan, agama maupun ideologi yang hidup di tengah masyarakat. Benturan tersebut tidak hanya terjadi di level ide, bahkan melebar menjadi gesekan sosial-politik yang tak jarang berujung pada konflik horizontal dan berakhir dengan pertumpahan darah.
Namun pasca runtuhnya Orde Baru, muncul pobia terhadap Pancasila. Dasar negara itu seolah ikut tumbang dan sirna tanpa bekas. Pancasila seakan hilang dan bersembunyi bagai “Godot” yang ditunggu-tunggu kehadirannya dan tak pernah muncul? Membincangkan Pancasila menjadi sesuatu yang menjemukan dan memuakkan, karena hampir selalu identik dengan regim Orde Baru. Trauma itu sampai sekarang belum lenyap. Ketika reformasi bergulir, diskursus ideologi merosot cukup dalam. Masalah itu seolah tidak relevan untuk dibicarakan. Masalahnya boleh jadi karena kita “capek’’ dengan ideologisasi Pancasila semasa Orde Baru yang praktis dimonopoli negara. Lantas, buat apa memperbincangkan Pancasila jika yang ada saat ini hanya satu kekuatan, yakni “ideologi Barat,” neoliberalisme dan neokapitalisme. Buat apa membicarakan bangsa dan negara jika tidak pernah memberikan dan mewujudkan kemakmuran rakyat?
Namun, diskursus tentang Pancasila, bangsa, negara maupun nasionalisme tidak dapat diabaikan begitu saja. Ketika bangsa ini tertatih-tatih dalam proses demokratisasi, konflik dan kekerasan yang muncul sewaktu-waktu, restorasi Indonesia dari krisis yang tak kunjung menemui titik cerah, sulit (limbo) merumuskan masa depan dan setumpuk masalah lainnya. Kita harus menengok kembali pentingnya semangat Pancasila sebagai nalar publik, paham kebangsaan yang kuat, dan semangat nasionalisme yang kokoh dan rasa keindonesiaan yang mendalam. Sebagai bangsa besar jangan sampai Indonesia tidak memiliki mimpi (imajinasi) dan jalan untuk mencapainya. Memang dalam Pancasila dan UUD 45 sudah termaktub cita-cita besar tersebut. Tetapi, dalam konteks yang lebih mudah dipahami serta bagaimana cara mencapainya, belum secara jelas dituliskan. Oleh karena itu, perlu upaya-upaya menajamkan kembali cita-cita proklamasi, Pancasila, dan UUD 45 menjadi riil dengan jalan yang lebih taktis dan strategis.
Atas beberapa alasan di atas itulah, pentingnya upaya mendialogkan kembali diskursus tentang paham nasionalisme, Pancasila, kebangsaan, dan keindonesiaan. Sudah selayaknya bangsa yang besar ini melakukan refleksi nasional sebagai wujud syukur atas anugerah yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa (YME), dan sebagai langkah koreksi untuk melangkah “ke depan gerbang kemerdekaan sejati.” Dengan menguatkan nilai-nilai kerakyatan secara luas agar partisipasi dan kemanusiaan dapat dirayakan dengan sedikit harapan. Agar semangat keindonesiaan kita tetap terjaga. Agar tidak paria di negara merdeka tetapi juga tidak phobia terhadap negara dan kapitalisme. Ayo, inilah saatnya. (*)
Penulis adalah Intelektual Muda NU;
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB)
(Pemikir Masalah-masalah Kebangsaan. Menulis beberapa buku diantaranya: “IDEOLOGI KAUM FUNDAMNETALIS: Menjawab Kegalauan Pertentangan Agama & Negara”, 2017, dan “QUO VADIS NASIONALISME?: Merajut Kembali Nasionalisme Kita yang Terkoyak”, 2015, diterbitkan: LKSB)
Sumber :
http://www.kompasiana.com/141082/godot-itu-bernama-pancasila_551ad3c9a333118d20b65a40
0 Komentar