Mama Cicantu Meninggal Dunia pada Usianya ke 87 Tahun

Mama Cicantu Meninggal Dunia pada Usianya ke 87 Tahun
CIANJUR, NU BogorInnalillahi Wa inna Ilahi rojiun, KH.Jalaludin Mahally Pimpinan Ponpes Al - Istiqlal Al - Islamy, Sukaluyu Cianjur menghembuskan nafas terakhirnya pada hari minggu (9/4/2017) pukul  05:00 Wib, di usianya yang ke 87 tahun.

Kabar meninggalnya ajengan sepuh tersebut di ungkapkan salah seorang alumni Ponpes Al - Istiqlal Muhammad Ilham melalui sambungan telpon setelah dikonfirmasi kebenarannya.
"Betul kang mama meninggal,'' ujar Ilham seraya membenarkan kabar tersebut.
Menurutnya,  mama Cicantu (Panggilan akrab Kiai di Jawa Barat) dimakamkan Area Pondok Pesantren masih dikediamannya, di Kampung Cicantu, Desa Hegar Manah, Kecamatan Sukaluyu, Cianjur,

''mama baru bisa dimakamkan pukul 11:00 Wib," katanya.

Seperti dilansir pada laman berita langitan,  Mama Cicantu mendirikan Pondok Pesantren Al Istiqlal Al-Islamy sejak 1962, Sosok Mama Cicantu dikenal sebagai, Ajengan yang bersahaja  beliau selalu semangat dalam mengamalkan ilmu dengan mengajar langsung para santri, mengisi kegiatan-kegiatan rutinnya seperti pengajian alumni, rutinan ikhwan, rutinan akhwat dan pengajian sehari hari santri.

Menarik saat mendengarkan kisah bagaimana Ajengan karismatik ini, mulai menimba ilmu dan selesai pada tahun 1958 di Banjar Sari, Keresek Garut, Kudang limbangan Garut, dan di Ciharashas Cilaku Cianjur. Dan memulai mendirikan pesantren tahun 1962 bersamaan dengan kondisi keamanan indonesia pada saat itu sedang dikuasai PKI, keselamatan bahkan nyawa para Ajengan sendiri seringkali sangat terancam saat itu dan sudah menjadi target operasi yang harus dibunuh oleh PKI karena dianggap menjadi penghalang.

Namun atas pertolongan Allah dirinya selamat sampai sekarang dan tidak kurang suatu apapun. Ajengan kelahiran Garut itu sadar betul bahwa tidak mudah mempertahankan sebuah pesantren salafi ditengah-tengah gencarnya pembangunan pabrik-pabrik di sekitar wilayah ini, dimana minat masyarakat terhadap pesantren salafiyah jadi sangat terpengaruh, terbukti tak sedikit pesantren yang santrinya berbelot meninggalkan pesantren dan memilih menjadi karyawan pabrik.

Berkat keyakinan dan kegigihannya, pesantren ini dapat bertahan dengan jumlah santri saat ini tak kurang dari 300 orang yang berasal dari berbagai kota, begitupun dengan alumni yang sudah tersebar membentang dari Banten sampai Berebes yang kemudian oleh persatuan alumni Al-Istiqlal dibagi menjadi 12 Kordinator wilayah.

Dalam perjalanannya berbagai tawaran datang kepada pesantren ini supaya merubah sistem kesalafiyahannya dan memadukan dengan pendidikan formal dengan diiming-imingi bantuan dan semacamnya, namun dengan tegas Ajengan karismatik ini menolak dengan alasan.

“saya dulu tidak sekolah dan hanya mengenyam pendidikan di Pesantren dan saya tidak akan mengganti kesalafiyahaan pesantren ini”, terangnya.


Meski tidak ada bantuan dari pemerintah pesantren yang murni salafiyah ini masih tegak berdiri bahkan terus berkembang diatas tanah seluas 1,5 hektar dengan fasilitas yang ada dan terbilang cukup, tidak ada biaya pendidikan yang diberlakukan pada santri-santrinya, paling santri patungan sendiri untuk makan dan bayar listrik. “Dengan bermodalkan tawakal kepada Allah alhamdulillah pesantren ini masih tetap bertahan sampai dengan hari ini, karena tawakaltu al Allah adalah kuncinya”, pungkas sang Ajengan (Muhammad Sopwan)

0 Komentar