Deregulasi Di Era Otonomi Daerah

 
Anwari : Deregulasi Di Era Otonomi Daerah
NU BogorOleh: Anwari Ilham (Alumnus Kabijakan Publik Universitas Airlangga Surabaya/Mantan Ketua Umum PC PMII Sidoarjo)

Setiap tahun begitu banyak Peraturan Daerah (Perda) yang telah disahkan oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten dan Kota. Hal ini bagian dari implementasi desentralisasi dan Otonomi Daerah (Otoda). Dari sekian banyak Perda yang telah di sahkan oleh Pemerintah Daerah, banyak pula Perda yang bermasalah dari perspektif Kemendagri, sehingga dalam kurun waktu tahun 2002-2009 ada 2.246 Perda dibatalkan, sedangkan dari tahun 2010-2014 ada 1.501 Perda dibatalkan. Perda yang dibatalkan selama tahun 2016 sekitar 3 ribuan Perda, Dengan rincian 1.765 Perda tingkat provinsi dan 1.276 perda tingkat kabupaten dan Kota.

Pembatalan tersebut didasari, bahwa perda tersebut dapat menghambat program deregulasi nasional yang dicanangkan Presiden Joko Widodo untuk mempermudah investasi dan pembangunan perekonomian nasional, khususnya di daerah.

Pasca putusan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi (5/4/2017) dengan memangkas kewenanag Kemendagri Pasal 251 ayat 2,3,3, dan 8 serta ayat 4 sepanjang frasa “pembatal perda kabupaten dan kota dan peraturan bupati dan wali kota sebagaiman dimaksud pada ayat 2 ditetapkan dengan putusan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat’, UU 23 tahun 2014 tentang pemerintah Daerah”.

Putusan tersebut menunjukkan bahwa pembatalan perda tidak lagi melalui Kemendagri. Perda merupakan produk legislasi yang disusun oleh Pemerintah Daerah dengan DPRD dan pembatalannya melalui lembaga yudikatif karena sesuai dengan ketentuan pasal 24A ayat 1 UUD 1945 “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, mengujii peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”.

Motivasi judicial review yang dilakukan oleh Asosiasi Pemerintahan Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) adalah seringnya Pemerintah Pusat melalui Kemendagri melakukan pembatalan Perda yang sudah di sahkan. Memang Kalau kita lihat selama ini Kemendagri melakukan pembatalan Perda dengan mengabaikan Perda pada saat melakukan penyusunan atau masih raperda. Pemerintah Pusat melalui Kemendagri hanya fokus pada Perda yang sudah disahkan atau mempunyai kekuatan hukum bukan pada saat penyusunan.

Dengan demikian kemendagri mengabaikan pengawasan atau monitoring pada saat penyusunan, sehingga Pemerintah daerah merasa prinsip desentraliasi dan otonomi daerah terabaikan dimana tiap-tiap daerah dijamin untuk mengurus urusan daerahnya secara mandiri. Disinilah tantangan Pemerintah pusat untuk melakukan program deregulasi terhadap pemerintah daerah agar setiap peraturan yang di susun tidak tumpang tindih terhadap peraturan diatasnya.

Di satu sisi pembuatan perda yang tidak mudah karena melibatkan partisipasi masyarakat dengan melakukan serap aspirasi oleh DPRD dan membutuhkan biaya besar dari APBD, melakukan kajian secara akademis dan waktu yang cukup panjang, sehingga pemerintah pusat tidak semestinya melakukan pembatalan secara sepihak.

Dari aspek penyelesaian perda pasca putusan MK (Mahkamah Konstitusi), di khwatirkan ketika pembatalan Perda melalui MA (Mahkamah Agung) akan memakan waktu yang cukup lama, karena MA juga banyak tugas diluar tanggung jawab pembatalan perda, karena pada tahun 2016 saja perda mencapai 3 ribu yang dibatalkan oleh kemendagri. Jika pembatalan melalui MA memang dikhwatirkan prosesnya akan lama sehingga perda yang bertentangan dengan UU lebih tinggi akan menghambat program deregulasi pemerintah pusat sampai ke daerah.

Menurut UU no 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Perda termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan di pasal 7 butir f, dan perda kabupaten dan kota di pasal 7 butir g. Sedangkan muatan perda provinsi dan perda kabupaten dan kota berisi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sedangkan mekanisme penyusunan perda terbagi 4 bagian, yaitu perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, penetapan dan pengundangan.

Bagi Pemerintah daerah pada saat melakukan Perencanaan program legislasi daerah (prolegda), pengkajiannya lebih detail melihat peraturan diatasnya agar tidak terjadi benturan dan bisa menghambat program pusat. Pembahasan bersama melalui tingkat pembicaraan yang dilakukan dalam rapat komisi/panitia/badan kelengkapan DPRD bidang legislasi dan rapat paripurna. Jadi, proses kontrol yang bisa dilakukan oleh kemendagri sebelum raperda ditetapkan menjadi perda oleh pemda.

Dalam penyusunan prolegda sebagaimana dimaksud ayat 1 dapat mengikut sertakan instansi vertikal terkait, sedangkan yang dimaksud instansi vertikal dari kementrian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang hukum dan/atau instansi vertikal terkait sesuai dengan kewenangan, materi muatan atau kebutuhan.

Orientasi perda kedepan yang akan disusun oleh Pemda Provinsi atau Kabupaten dan Kota, adalah tidak diperlukannya peraturan baru yang melibatkan banyak birokrasi, harus ada pemangkasan birokrasi agar pemerintahan berjalan efektif dan efisien demi memberikan pelayanan yang lebih berkualitas kepada masyarakat.

Perda menjadi dasar bagi Pemda, Provinsi, Kabupaten dan Kota untuk membuat kebijakan publik (public policy), sehingga dibutuhkan Langkah yang bisa dilakukan dalam menyikapi ini dengan tidak memangkas prinsip otonomi daerah adalah; Pemerintah Pusat melalui Kemendagri bisa melakukan kontrol terhadap rancangan peraturan daerah sesuai pasal 243 UU tentang pemda, sehingga penyusunan Raperda bisa diminimalisir agar tidak bertentangan dengan peraturan di atasnya. Dari pihak pemerintah provinsi atau Kabupaten dan kota pada saat pembuatan atau penyusunan perda terlebih dahulu dikoordinasikan atau dikonsultasikan ke pusat agar tidak adanya perda yang tumpang tindih.

Diperlukan juga interaksi antara stake holders Pemerintah Pusat dengan Pemda agar tidak ada lagi perda yang bertentangan dengan perundang-undangan dan program deregulasi untuk investasi pemerintah pusat.

Di era otonomi daerah yang sudah memasuki tahun ke 21 yang peringatannya di pusatkan di Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur (25-4-2017) dengan tema “Semangat otonomi daerah, kita tingkatkan pelayanan publik melalui E-Goverment”. Acara tersebut mari kita jadikan momentum untuk menyampaikan program deregulasi kepada pemerintah provinsi, Kabupaten dan kota agar kedepan tidak ada lagi perda yang tumpang tindih dan menghambat invertasi, sehingga sinergi program pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat berjalan sesuai dengan semangat dari desentralisasi dan otonomi daerah. 

0 Komentar