
Refleksi atas kesamaan nasib sepanjang tiga abad lamanya berada dibawah pengaruh kekuatan Eropa dan bangsa asing, dimana sisi-sisi kemanusiaan di pinggirkan, sumberdaya alam di peras habis-habisan, tradisi kebudayaan luhur di injak-injak dan dilecehkan, kemudian mengantarkan bangsa Indonesia untuk membangun Semangat Kebersamaan Nasional, dalam rangka membebaskan bangsa Indonesia dari kerangkeng penindasan, yakni cakar-cakar kekuatan kaum Imperial dan kolonial.
Semangat kebersamaan nasional ini tercatat dalam sejarah mampu mendorong berbagai gelombang pergerakan, mulai dari gerakan perlawanan kaum Agamawan terhadap upaya pemberlakuan Madzhab Tunggal Wahabisme internasional sekitar tahun 1926, gerakan persatuan yang diinisiasi oleh kaum muda pada tahun 1928, gerakan National Liberation yang dideklarasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan gerakan memukul mundur agresi militer Eropa di Surabaya pada tanggal 10 November 1945, dan berbagai gerakan nasional lainnya sepanjang Republik Indonesia ini berjalan.
Dalam frame keagamaan, semangat kebersamaan nasional ini dinilai sebagai sebuah cerminan iman seseorang, sebagaimana adagium popular di kalangan kaum Agamawan menyatakan; "Hubbul Wathan Minal Iman",yang memiliki arti Kecintaan pada bangsa dan negara itu bagian dari Iman.
Semangat kebersamaan nasional ini dalam sejarah seringkali mendapatkan perlawanan, yang tidak lain merupakan upaya pemecahbelahan kekuatan bangsa Indonesia untuk menghambat laju pembangunan bangsa dan negara secara keseluruhan.
Dua kekuatan yang berusaha mengoyak semangat kebersamaan nasional ini datang dari timur tengah, berupa gerakan Islam politik yang menginginkan terbentuknya negara agama, dan dari Eropa berupa gerakan ekonomi global yang menginginkan penguasaan atas sumber daya alam secara besar-besaran dengan tanpa mempertimbangkan moralitas.
Gerakan Islam politik, menentukan visi perjuangan utama mereka untuk memberlakukan sistem Islam formal, baik dalam bentuk Khilafah Islamiyyah, Negara Islam, atau sejenisnya.
Dalam mendukung visi perjuangannya, mereka membuat sistem pergerakannya secara agresif dan massif, mulai dari seruan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah berbasis terjemahan standar, pengrusakan citra para tokoh Islam dominan, bantahan idiologis atas doktrin-doktrin yang selama ini disiarkan oleh para ulama lokal, penyematan lebel syirik, kufur, dan sebagainya atas ritus kebudayaan Islam lokal, termasuk didalamnya pelebelan thogut atas falsafah dan ideologi bersama, Pancasila.
Gerakan Islam politik ini jelas-jelas amat berbahaya, sebab target mereka sesungguhnya bukan untuk menyerang Islam dominan, baik NU ataupun Muhammadiyah, melainkan untuk merubah negara Indonesia menjadi negara agama sesuai versi mereka.
Gerakan Ekonomi Global yang ditetapkan oleh Bank Dunia dan IMF memiliki doktrin dasar, bahwa "untuk mendorong kesejahteraan, diperlukan suatu kondisi persaingan berjalan secara adil (bebas), dimana negara tidak ikut terlibat di dalamnya".
Gagasan dasar ini secara kasat mata seolah ideal, namun jika ditelusuri lebih lanjut maka akan terlihat kecacatan asumsinya dengan tes pertanyaan sederhana "Bagaimana mungkin pedagang berkapital kecil akan dapat bersaing dengan pedagang yang memiliki kekuatan kapital yang besar?".
Seperti mustahilnya sebuah klub sepakbola lapis ketiga, dimana para pemainnya adalah amatir, menejemen klub yang buruk, keuangan klub yang tidak memadai, kemudian harus bersaing di kompetisi Liga Champions berhadapan dengan klub-klub elit Eropa. Jelas ini pikiran konyol.
Gerakan Ekonomi Global, jelas amat sangat berkepentingan dengan semua bentuk sumberdaya alam yang bisa dieksploitasi besar-besaran. Mereka melancarkan berbagai pola gerakan untuk memuluskan misinya itu, mulai dari pemberlakuan kebijakan ekonomi global, perjanjian-perjanjian bilateral dan unilateral, pinjaman lunak, Hingga penyediaan aparatur pemerintah beserta regulasi / undang-undang yang bertentangan dengan amanat UUD 1945 untuk memuluskan kepentingannya.
Sehingga wajar jika kemudian lahir berbagai konflik agraria dan sumber daya alam, dimana banyak terjadi kekerasan dan pelanggaran HAM selama kasus berjalan, yang mana negara tidak mampu berbuat banyak hal oleh sebab kedaulatan negara sudah dilucuti, bahkan sialnya bisa jadi negara menjadi fasilitator yang bagi kekerasan dan pelanggaran HAM, pada akhirnya ini merupakan Imprealisme dan Kolonialisme gaya baru.
Dua kekuatan besar tersebut, baik itu Kekuatan Islam Politik maupun Ekonomi Global, ibarat dua sisi mata uang yang berbeda satu dengan yang lainnya, namun memiliki visi yang sama, yakni mencerai beraikan kekuatan nasional bangsa Indonesia, yakni mereka yang berdarah-darah untuk memerdekakan bangsa dan mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa berdirinya negara ini adalah hasil jerih payah seluruh elemen bangsa, dimana seluruh pemeluk agama dan suku bangsa bersama-sama memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia dari cengkraman imprealisme dan kolonialisme bangsa asing.
Maka oleh karena itu, jelas ini merupakan tugas bersama seluruh lapisan kekuatan bangsa Indonesia untuk mempertahankan negara, dan kemudian mengupayakan setiap program kemerdekaan untuk membangun kehidupan bersama di atas bumi Indonesia.
PMII dalam hal ini sebagai salah satu pewaris semangat kebersamaan dan kemerdekaan bangsa Indonesia, mengajak kepada seluruh tumpah darah Indonesia untuk bersatu padu dalam menghalau agresi idiologis maupun politis dari dua agresor tersebut dengan berbagai cara yang bisa kita lakukan, mulai dari penanaman semangat kebersamaan hingga mendorong revisi maupun inisiasi berbagai undang-undang yang sesuai dengan amanat UUD 1945.
* Tulisan ini merupakan pendapat penulis, bukan bagian dari tanggungjawab NUBogor.Com
0 Komentar