Ahok Effect; Sebuah catatan

NU Bogor - Oleh : Dian Azis Syahputra (Kader PAC Ansor Klapanunggal)


Akhir-akhir ini saya melihat aktivitas beberapa teman di media sosial yang semakin aktif berdakwah mengenai keagamaan. Terutama semakin getol saat Pilgub DKI Jakarta dan Aksi-Aksi serial bela agama. Ini menunjukkan trend positif di kalangan pemuda. Artinya pencalonan salah satu Paslon di Pilgub DKI telah mengetuk hati banyak pemuda (khususnya umat muslim) untuk memahami agama lebih dalam. Terlebih mengikuti pengajian-pengajian yang mereka yakini sebagai peluang untuk belajar tentang Agama Islam secara kaffah.



Namun tidak sedikit pula, yang mungkin karena menganggap pengajiannya yang paling benar, jadi memiliki pemahaman yang agak keras dan menjurus pada upaya kebencian dan permusuhan, serta alih-alih merasa paling beragama dan paling benar. Padahal baru-baru ini saja (sejak Pilgub DKI dan aksi-aksi serial bela agama) mereka mulai cenderung belajar mengkaji agama. Kemarin-kemarin sebelumnya kemana saja? Saat yang lain sibuk belajar dan mengkaji agama di berbagai forum diskusi dan organisasi, mereka ini kan hanya kuliah saja di kelas. Tapi kok kenapa sekarang sering menghujat dan menuduh yang lain liberal dan sesat serta antek zionis. Liberal, kafir, dan zionis itu sudah kami kaji sekitar 8 tahun yang lalu ketika mereka-mereka ini masih duduk manis di ruang kelas menanti kabar dosen yang tidak hadir dan mereka-mereka bersorak kemudian pulang, sebagian berbelanja dan beraktivitas hedonis lainnya. Atau mereka yang tak sempat mengecap bangku kuliah, kini senang sekali memposting berita-berita Hoax dan seakan-akan sudah menjadi aktivis ketika bisa menyerang pemerintah, atau juga sudah merasa paling hebat tatkala bisa berdebat dengan orang yang beda paham dengan mereka.



Yang membuat saya salut memang mereka-mereka ini 'getol' sekali mendakwahkan Islam. Tapi sayangnya 'getol' juga menuduh orang dan kelompok lain sesat dan kafir. Pemahaman agama yang dadakan memang cenderung reaksioner ditambah akses acuannya yang berhaluan klasik dari Ulama-Ulama Timur Tengah yang radikal (wajar karena kondisi politiknya juga mengkhawatirkan dan penuh konflik kekerasan) tapi dipaksakan untuk diterapkan di Indonesia yang saat ini tidak terlibat langsung dalam konflik dan peperangan. 



Ayolah kita berdiskusi dan berdialog bersama mengkaji agama dengan paradigma harmonisasi dan persaudaraan. Tinggalkan paradigma bahwa di luar kelompok Anda sesat, liberal, kafir. Jika mengaku sunnah yaal berarti setiap sunnah Rasulullah diterapkan dan dijalankan, tidak hanya sunnah yang keras dan mengecam (sesuai konteks sejarah di masa Rasulullah), tapi juga sunnah yang membangun hubungan damai dan saking menghargai dan menghormati.



Ahok effect emang luar biasa di satu sisi kepemimpinannya membuat orang tergerak untuk mau mengkaji agamanya. Namun di sisi lain agamanya digunakan untuk mengutuk kelompok lain dan getol menghujat orang lain dengan "makian langit" yang semestinya hanya Tuhan yang berhak mengujarkan itu. Karena itu adalah Hak Preogratif Tuhan, siapa mereka ini yang merasa paling dekat dengan Tuhan?



Kepemimpinan yang keras serta rajin memaki ala Ahok ternyata secara tidak sadar dipraktekkan oleh pemuda-pemuda yang sedang semangat belajar agama melalui media massa, internet, dan pengajian-pengajian yang cenderung menuntun pada kebencian dan permusuhan. 



Jadi yang selama ini membenci Ahok ternyata praktek kebenciannya belajar dan meniru Ahok juga. Maka dunia ini hanya menyajikan hingar-bingar Ahok, Pendukung politiknya Ahok, serta pendukung/ peniru sikap dan sifat Ahok. Maka Topik Utamanya adalah “Ahok menang banyak”.



Maka, carilah pemimpin yang sejuk dan menumbuhkan jiwa perdamaian. Damai bermula dari pikiran, perasaan, ujaran, dan tindakan. Bahwa menjadi pemimpin tidak melulu membangun fisik, akan tetapi membangun jiwa warganya menjadi damai dan bersahaja yang mampu menjadi wilayah pembangkitan semangat berkreasi bukan semangat membenci. Serta mampu membangkitkan akhlak yang terbina, bukan akhlak yang sering menghina. Membangun kota yang tumbuh pesat, bukan menuduh orang lain sesat. Membangun manusia yang bermoral, bukan menuduh yang lain liberal. Mampu mengakomodir, bukan menghujat kafir. **Wallahul Muwafiq Ila Aqwami Thariq

 * tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis, isi bukan tanggungjawan NUBogor.Com

0 Komentar